UKHTI BERCADAR YANG MALANG
SPOILER
Azizah (32 tahun), seorang akhwat alim yang selalu menjaga auratnya karena selalu memakai gamis, hijab dan juga cadar hidup damai, tenang dan harmonis dengan sang suami bernama Mas Haris (33 tahun). Semuanya menjadi malapetaka yang mengganggu malam-malam Azizah ketika di satu malam, Azizah diperkosa, direkam dan diancam oleh bapak-bapak ojek pangkalan ketika ia diharuskan datang ke kantornya membahas sesuatu bersama rekan sekantor. Tidak adanya sang suami di rumah, karena dinas keluar kota, menjadi alasan Azizah mau tak mau memakai jasa ojek pangkalan dikarenakan aplikasi ojek online mengalami error.
Cobaan terus berlanjut, Azizah mau tak mau menuruti semua perintah Pak Karjo agar rekaman video itu tak disebar. Azizah dipaksa berpakain teramat sexy dan disuruh menjadi tukang ojek yang berujung dirinya harus digilir oleh dua pria. Azizah tak bisa menolak karena semua itu bagian dari perintah bejat Pak Karjo yang harus dituruti. Sampai akhirnya, ia yang muak dan tak tahan lagi, mengaku jujur kepada sang suami. Tapi bukannya Mas Haris percaya, Azizah justru diceraikan.
Di ujung hidupnya yang sudah hancur, Azizah memutuskan menjadi pelacur di salah satu klub elit ternama di kota Bali. Tempat surga dunia yang mempertemukannya dengan bule negro sebagai pelanggan pertamanya.
Part 1. Digoda Ojek Mesum
Langkahku terasa berat meski baru saja selesai menunaikan ibadah sholat isya. Aku berdiri lama di depan cermin, memastikan cadar menutupi wajahku rapat-rapat, serta gamis berwarna biru dongker jatuh longgar hingga menutupi tubuhku. Tetapi aku tahu tak semua bisa tersembunyi. Aku selalu merasa mata orang-orang mampu menembus kain yang kupakai, mencari-cari celah untuk menilai, mengukur, dan bahkan mengomentari.
Apalagi ketika aku tengah menatap pantulan diriku di depan cermin panjang yang menempel di lemari pakaian, tampak bagian pantatku masih begitu tercetak dengan begitu menyembulnya di balik gamis longgar yang kupakai.
Hari ini seharusnya menjadi hari yang ringan—sekadar memenuhi janji untuk bertemu rekan-rekan kantor setelah sholat. Namun entah mengapa, dadaku terasa sesak. Suamiku Mas Haris, sedang dinas ke luar kota, dan aku harus pergi sendiri. Biasanya Mas Haris yang selalu mengantarku ke mana pun aku mau. Bisa aku katakana bahwa Mas Haris adalah suami yang penuh perhatian, bahkan kadang terlalu protektif. Tapi sekarang aku sendirian.
Aku menyalakan ponsel, membuka aplikasi ojek online, dan mendesah pelan. Layar menampilkan pesan error yang sama seperti tadi pagi. Aku mencoba lagi, tapi tetap saja gagal. Bibirku bergerak pelan, membaca istighfar, berharap kesabaran tidak meninggalkanku di saat-saat genting seperti ini.
Mau tak mau, aku harus mencari alternatif. Pilihan satu-satunya adalah ojek pangkalan di ujung jalan dekat rumahku. Aku tak pernah benar-benar berinteraksi dengan mereka, selalu memilih aplikasi online karena merasa lebih aman. Tapi hari ini aku terjebak.
Langkahku menuju pangkalan ojek terasa begitu berat. Di sana, beberapa pria paruh baya duduk santai, merokok, dan bercengkerama. Asap rokok melayang-layang, menyengat hidungku. Aku menunduk, berusaha tidak menarik perhatian, namun aku tahu keberadaanku sudah terdeteksi.
“Wah, wah, wah … ada tamu istimewa nih. Keliatannya sendirian aja nih, Bu. Nggak ada yang nemenin ya?” suara seorang pria terdengar lantang. Suaranya parau karena asap rokok, tapi jelas ditujukan padaku.
“Kalau mau biar kita temenin sini, Neng.” salah seorang lainnya ikut menimpali.
Aku berusaha tetap tenang, meski kakiku ingin segera berbalik. “Permisi, Pak. Ada yang bisa antar saya ke kantor?” tanyaku dengan suara rendah, bergetar sedikit dan tak menghiraukan pertanyaannya dan kalimatnya yang begitu terdengar menggoda imanku.
Mereka saling pandang, kemudian tertawa kecil.
“Waduh, Bu … Pakai pakaian tertutup begitu, pakai cadar pula. Mau ke tanah suci atau beneran ke kantor malam-malam begini? sahut yang lain, membuat kelompok itu tertawa lebih keras.
“Yakin beneran ke kantor malam-malam begini, Bu? Kenapa nggak minta kita anterin ke hotel sekalian?” terdengar sahutan dari pria pertama yang membuka suara ketika melihat kedatanganku.
Hatiku teriris. Aku ingin menegur, ingin berkata bahwa pakaian ini adalah pilihanku, bagian dari keyakinanku. Tapi lidahku kelu. Aku hanya ingin cepat selesai, naik motor, lalu pergi jauh dari tatapan dan godaan mereka.
Seorang pria berbadan kekar, berusia mungkin di atas lima puluh, berdiri sambil menepuk-nepuk motor tuanya. “Sini aja, Bu. Biar saya yang antar. Aman, cepet sampai.”
Aku menatapnya sekilas. Wajahnya penuh kerutan, matanya tajam seolah sedang menguji nyaliku. Aku menelan ludah, lalu mengangguk pelan. “Baik, Pak. Berapa ongkosnya?”
“Ah, urusan belakangan. Yang penting sampai dulu,” jawabnya sambil tersenyum tipis. Jenis senyum yang sedikit banyak bisa aku artikan sebagai senyum yang memiliki arti lain. Aku bisa tau karena aku bekerja sebagai seorang psikolog.
Aku ragu. Di satu sisi, aku benar-benar butuh pergi. Di sisi lain, suasana ini membuatku ingin lari. Tapi aku mencoba menguatkan diri. Ini hanya perjalanan singkat. Insya Allah selamat. Jangan terlalu curiga, Azizah.
Aku naik ke motor dengan hati-hati, menjaga jarak sejauh mungkin dari tubuh pengemudi. Saat duduk, aku bisa merasakan tatapan beberapa pria lain yang masih duduk di pangkalan, tertawa pelan sambil berbisik-bisik. Aku yakin mereka sedang membicarakanku. Walaupun aku sama sekali tak tau apa yang sedang mereka bicarakan
Kenapa aku merasa seperti ini? Kenapa setiap kali keluar sendirian, dunia terasa tidak begitu ramah pada perempuan dengan penampilan tertutup dan bercadar sepertiku. Seolah-olah, pandangan mata mereka begitu menembus lapisan kain yang aku kenakan, mencari-cari lekuk tubuh yang membuat mereka memandang dengan tatapan penasaran.
Motor mulai melaju, meninggalkan pangkalan. Angin malam menampar kain cadar yang aku kenakan, membuatku bisa bernapas sedikit lega. Namun kata-kata yang tadi dilontarkan oleh beberapa bapak-bapak ojek pangkalan itu terus bergaung di kepalaku. Rasanya seperti noda yang menempel dan sulit dibersihkan.
Aku memejamkan mata sejenak.
Azizah, kau seorang psikolog. Kau mengerti tentang mekanisme bertahan hidup, tentang cara mengatasi kecemasan. Kenapa saat ini justru kau yang kalah oleh rasa takut? Tetap tenang, toh saat ini diriku sudah menjauh dari kerumunan bapak-bapak yang pandangan matanya membuatku tidak nyaman.
Motor membelah jalanan ibu kota yang ramai. Sesekali, pengemudi menoleh sedikit ke belakang, seolah ingin memastikan aku masih di sana. Aku berusaha menatap lurus, mengabaikan semua kemungkinan buruk yang berkelebat di pikiranku.
“Kerja di mana, Bu?” tanyanya tiba-tiba, memecah keheningan.
Aku terdiam sebentar. Ingin rasanya tidak menjawab, tapi itu akan terlihat mencurigakan. “Di sebuah kantor konsultan, Pak.” jawabku singkat.
“Oh … pantesan. Orang pintar ya,” ucapnya dengan nada yang sulit kutebak, entah kagum atau mengejek.
Aku tidak menanggapi. Fokusku hanya pada perjalanan, berharap segera sampai. Tapi pikiran liar terus menghantui: bagaimana jika ia membelokkan motor ke arah lain? Bagaimana kalau benar aku tidak bisa kembali?
Aku mencoba menenangkan diri dengan doa. Bibirku bergetar, melafalkan ayat-ayat pendek, seolah itu bisa menjadi perisai dari rasa waswas yang mencekik.
Namun semakin aku berdoa, semakin aku sadar betapa rapuhnya aku saat ini. Aku merasa kecil, sendirian, meski hanya beberapa kilometer dari rumah.
“Tenang aja, Bu. Saya udah biasa nganter orang. Lagian, kalau perempuan kayak Ibu yang anggun gini, siapa juga yang mau macem-macem? Bisa-bisa kena dosa besar,” katanya sambil tertawa kecil.
Aku memejamkan mata. Kata-katanya yang terdengar seperti pujian itu, justru membuatku semakin risih. Aku tidak ingin dianggap “anggun” oleh orang asing. Rasanya terdengar terlalu berlebihan jika diucapkan oleh pria lain yang bukan mahramku. Aku hanya ingin jadi diriku sendiri, menjalani hidup tenang tanpa harus dilihat sebagai objek yang mengundang komentar. Terlebih komentar yang datangnya dari pria lain yang bukan suamiku.
Kenapa setiap langkah perempuan harus selalu diperiksa dan ditatap dengan sebegitunya? Kenapa pilihan pakaian yang kupakai untuk ibadah menutup aurat malah menjadi bahan canda bagi orang lain? Atau yang paling parah adalah, seringkali aku mendapat curhatan dari sesama perempuan yang juga penampilannya sama sepertiku, seringkali mereka mendapat ucapan-ucapan pelecehan dari pria lain yang mereka temui di jalan. Bisa jadi sedikit banyak yang aku dengar tadi di pangkalan ojek.
Aku menghela napas panjang. Ya Allah, beri aku kekuatan. Jangan biarkan aku runtuh hanya karena kata-kata. Aku harus tetap tegar.
Motor akhirnya berbelok ke arah jalan yang lebih ramai, mendekati gedung-gedung perkantoran. Aku mulai bisa melihat lampu neon yang menyala, hiruk-pikuk kendaraan, dan suara klakson yang memekakkan telinga. Kebisingan ini membuatku sedikit lega. Semakin banyak orang, semakin kecil kemungkinan aku merasa terancam.
Ternyata semua pikiran dan prasangka burukku bahwa diriku akan dibelokkan ke arah lain tidaklah nyata. Aku segera mengucap istighfar memohon ampun karena sudah berburuk sangka pada sang pencipta. Tak lupa, diriku mengucap kalimat hamdalah karena selama perjalanan terasa aman sampai tujuan.
Seketika aku jadi berpikir, sebagai seorang psikolog, tak boleh serta merta melihat seseorang dari luarnya saja. Aku sempat berpikir bahwa Bapak ojek pangkalan yang mengantarku ini berpikiran bejat dari penampilannya yang membuatku tak nyaman, namun ternyata lagi-lagi prasangkaku salah.
Ketika motor berhenti di depan kantorku, aku segera turun. Tanganku sedikit gemetar saat merogoh dompet. “Berapa ongkosnya, Pak?” tanyaku.
Pria itu menatapku sebentar, lalu tersenyum. “Sukarela aja, Bu. Anggap aja saya bantu tetangga.”
Aku menyerahkan selembar uang, lebih banyak dari perkiraan tarif normal. “Terima kasih,” kataku singkat, lalu cepat-cepat melangkah pergi.
Aku bisa merasakan tatapannya mengikuti punggungku hingga aku masuk ke dalam gedung. Baru setelah pintu kaca menutup di belakangku, aku berani menghela napas panjang.
Namun rasa lega itu tak sepenuhnya menenangkan. Di balik cadar, mataku panas menahan air yang ingin jatuh. Bukan karena perjalanannya berbahaya, tapi karena aku merasa begitu lemah menghadapi dunia luar.
Azizah, kau seorang istri yang mapan, seorang psikolog, seorang muslimah yang ingin hidup tenang. Tapi mengapa sekadar menempuh perjalanan singkat pun kau harus merasa terhina? Apakah ini yang disebut ujian kesabaran? Atau ini peringatan bahwa dunia di luar sana tak akan pernah benar-benar ramah?
Hari itu aku sadar, perjalanan singkat ke kantor bisa menjadi medan perang bagi batin. Sebuah perang tanpa darah, tapi meninggalkan luka batin yang tak terlihat.
Dan aku hanya bisa berharap, luka itu tidak akan semakin dalam ketika kedepannya aku sedang bepergian keluar rumah tanpa suamiku, Mas Haris.
Part 2. Dijebak
Pertemuan dengan rekan-rekan sekantor malam ini selesai lebih cepat dari yang kukira. Kami membicarakan program baru, mendiskusikan rencana konseling kelompok dengan berbagai klien dari berbagai latar belakang sampai akhirnya ditutup dengan obrolan ringan sebelum pulang.
Selama pertemuan, aku berusaha tampak normal, ikut tersenyum, ikut tertawa, padahal pikiranku masih tertinggal di pangkalan ojek tadi. Entah kenapa aku begitu terusik dengan ucapan-ucapan yang membuat hatiku tak nyaman sejak tadi sampai saat ini.
Tatapan-tatapan menggoda, komentar-komentar yang menyinggung penampilan islamiku—semua itu terus membayang. Aku ingin melupakan, tapi tubuhku menolak. Rasa risih dan waswas tetap menempel, seolah kain cadarku menyerap semuanya lalu membawanya bersamaku.
Ketika semua rekan mulai pulang satu per satu, aku berdiri di depan gedung kantor. Mataku menatap jalan raya yang terlihat sudah mulai sepi oleh kendaraan, tak seramai tadi. Udara malam semakin menusuk ke kulitku sekalipun aku tertutupi oleh gamis panjang longgar, hijab panjang serta cadar yang masih terus setia menutup sempurna auratku.
Aku meraih ponsel, berharap aplikasi ojek online sudah kembali normal. Namun ketika kubuka, layar menampilkan tanda loading lama akibat masalah error yang sama. Bagaimana ini, pikirku.
Aku menelan ludah. Itu artinya aku harus kembali dengan cara yang sama seperti saat berangkat tadi.
Ya Allah… apa aku sanggup menghadapinya lagi?
Aku tahu di dekat sini ada pangkalan ojek yang sama. Dan aku tahu, pria paruh baya yang tadi mengantarku kemungkinan masih berada di sana. Aku mencoba berpikir: apakah ada pilihan lain? Taksi? Jarak rumahku tak terlalu jauh, dan taksi di jam segini bisa jadi sangat sulit dicari. Menyewa mobil? Terlalu mustahil. Menunggu Mas Haris pulang? Semakin Tidak mungkin, karena ia masih dinas beberapa hari lagi di luar kota.
Aku begitu menyesali tak mau belajar mengendarai mobil sejak dulu. Selalu berpikir akan mengandalkan pulang pergi kemanapun dengan Mas Haris. Padahal situasi error aplikasi sama sekali tidak bisa aku tebak. Kalau sudah begini, aku yang kesulitan dan kebingungan.
Akhirnya, aku menarik napas panjang dan memutuskan untuk berjalan ke arah pangkalan di seberang jalan, tak jauh dari warung yang biasa aku kunjungi ketika ingin membeli makan siang selama bekerja.
Langkahku terasa seperti menghitung waktu menuju ujian yang tak bisa kuhindari. Semakin dekat aku mendengar suara mereka. Tawa, percakapan keras, dan ada deru motor yang dinyalakan.
Benar saja. Pria-pria berumur paruh baya sedang duduk di sana. Termasuk pria yang tadi mengantarku—yang kudengar sekilas bernama Karjo, ketika mendengar dari teman-temannya ketika aku berjalan menghampiri. Tubuhnya tegap meski usia sudah menua, rambutnya memutih di beberapa bagian. Ia melihatku, lalu tersenyum tipis.
“Eh Ibu yang tadi … ketemu lagi. Mau pulang sekarang?” sapanya.
Aku mengangguk pelan, berusaha menahan kegugupan. “Iya, Pak. Bisa tolong antar saya pulang ke arah pangkalan ojek yang tadi? Rumah saya di dekat situ.”
“Wah, kebetulan. Saya lagi nggak ada orderan. Ayo, Bu. Sini, saya antar.” jawabnya sambil menyalakan motor.
Aku merasa beberapa pasang mata lain menatapku. Ada yang tertawa kecil, ada yang hanya mengamati. Aku tak berani menoleh, hanya fokus pada langkahku menuju motor yang hendak aku tumpangi.
Setelah duduk, aku berusaha menjaga jarak tubuh sebisa mungkin. Motor pun melaju, meninggalkan pangkalan.
Awalnya aku mencoba tenang. Jalanan cukup ramai, kendaraan lalu lalang. Tapi setelah beberapa menit, aku sadar arah yang ditempuh terasa berbeda. Jalan yang biasanya kulewati menuju rumah tak pernah lebih sepi seperti saat ini.
“Pak, ini jalannya kok beda ya?” tanyaku pelan, mencoba menjaga nada agar tidak terdengar panik.
“Oh, ini jalan pintas, Bu. Lebih cepet. Jangan khawatir.” jawabnya tanpa menoleh.
Aku menggigit bibir. Jalan pintas? Tapi kenapa aku tidak pernah melihatnya sebelumnya?
Semakin lama, suasana sekitar makin sunyi. Lampu jalan jarang terlihat, hanya ada rumah-rumah tua dengan pagar berkarat. Motor terus melaju, masuk ke gang kecil yang semakin gelap.
“Pak… saya minta tolong antar ke jalan besar saja. Saya lebih nyaman lewat sana.” ucapku lagi, kali ini dengan nada lebih tegas.
Namun motor justru berhenti di depan sebuah rumah tua berlantai kayu, catnya terkelupas, dan halamannya dipenuhi rumput liar. Lampu di teras menyala redup, memberikan suasana yang semakin membuat bulu kudukku berdiri. Aku begitu takut jika terjadi apa-apa pada diriku, tapi aku juga bingung harus bagaimana.
“Sudah sampai, Bu.” kata Pak Karjo, lalu turun dari motor.
Aku terdiam. “Sampai … di mana, Pak?” tanyaku bingung dengan suara tercekat.
Ia tidak menjawab, hanya membuka gerbang rumah itu. Dari dalam, terdengar suara-suara pria lain bercakap-cakap, disertai tawa keras. Aku langsung mengenali beberapa suara. Itu adalah suara bapak-bapak yang tadi ada di pangkalan ojek!
Tubuhku menegang. “Pak, ini bukan rumah saya. Tolong antar saya pulang. Saya bayar lebih, nggak apa-apa.” kataku cepat, panik mulai menguasai. Aku begitu takut.
Pak Karjo menoleh, tatapannya berubah dingin. “Bu, jangan ribut. Masuk dulu aja. Teman-teman udah nunggu.”
Aku mundur selangkah, tangan dan kakiku bergetar. Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi?
Pintu rumah terbuka, dan tiga orang pria keluar. Aku mengenali wajah-wajah mereka, yang tadi bersenda gurau di pangkalan. Senyum mereka kali ini berbeda. Lebih menekan, seolah menutup semua jalan keluar.
“Wah, akhirnya datang juga.” salah satu dari mereka bersuara dan mulai berjalan menghampiriku.
Aku mencoba menguatkan diri. “Saya nggak ada urusan. Saya cuman mau pulang. Tolong, jangan halangi saya.”
Mereka tertawa. Salah satu yang lainnya berkata, “Tenang, Bu. Kita cuman mau ngobrol. Nggak usah takut. Tapi kalau cerita ini sampai keluar, bisa repot lho. Bisa bahaya.”
Kata-kata itu bagai cambuk yang menyambar dadaku. Ancaman. Aku paham maksud mereka. Jika aku berani melawan atau melapor, ada konsekuensi.
Tanganku mengepal di balik gamis. Apa aku harus teriak? Tapi siapa yang akan dengar di tempat sepi begini? Apa aku bisa lari? Tapi mereka lebih banyak dan lebih kuat.
Aku memejamkan mata sejenak, mencoba menahan gejolak. Sebagai seorang psikolog, aku tahu otak manusia bisa kehilangan kendali ketika dilanda panik. Aku harus tetap berpikir jernih, meski seluruh tubuhku menjerit ingin kabur.
“Pak … kalau memang mau bicara, kita bisa bicara di tempat terbuka. Di warung kopi, misalnya. Bukan di sini.” kataku mencoba mencari celah.
Mereka saling pandang, lalu salah satu dari mereka tertawa keras. “Pintar juga. Tapi sudah telat, Bu. Sekarang Ibu sudah di sini. Jadi dengarkan baik-baik, kalau Ibu coba macam-macam, kami punya cara biar Ibu nggak bisa cerita ke siapa-siapa.”
Suara itu membuat darahku berdesir. Ancaman yang lebih jelas. Aku bisa merasakan tubuhku gemetar di balik cadar.
Azizah, tenang. Jangan tunjukkan rasa takut. Kau harus cari jalan keluar dengan kepala dingin.
Aku menatap Pak Karjo yang tadi tertawa dengan begitu kerasnya, mencoba menahan getar di suaraku. “Apa yang Bapak mau dari saya?”
Ia menatapku lama, lalu menjawab dengan suara rendah tapi tegas.
“Kami cuman mau bermain-main dan menikmati tubuh dibalik gamis itu. Kami juga penasaran melihat wajah yang keenakan jika kami entot ramai-ramai.”
Aku tercekat. Seketika badanku menegang, seperti tak bisa digerakkan untuk menghindar atau kabur dari pria-pria paruh baya yang kini sudah mendekat padaku. Aku terkepung dan tubuhku dipaksa mereka berempat untuk masuk ke dalam rumah tua.
Tubuhku terlempar paksa di atas lantai kayu yang terasa berdebu. Terdengar pintu ditutup dan dikunci. Aku tak bisa melihat karena keadaan di dalam rumah tua yang gelap. Masih mencoba meraba-raba, seketika aku merasakan tubuhku digerayangi oleh beberapa tangan.
Ya Tuhan … Bagaimana ini, tolong lindungi hambamu ini dari segala bentuk kemaksiatan.
“Saya mohon Pak, tolong jangan nodai saya. Saya sudah bersuami dan sudah berkeluarga …” rintihku yang sama sekali tak mereka hiraukan.
“Sudah, Ibu nikmatin saja malam ini. Tidak akan ada orang yang tau kalau Ibu tidak cerita.” suara Pak Karjo semakin memperjelas tindakan bejat ia dan ketiga temannya ini. Tanganku dipegang paksa agar tak bisa berontak ketika kurasakan tangan kasar merayap ke pangkal kemaluanku. Tangan kasar itu terasa mengelus dan menekan kewanitaanku.
“Pak …! Tolong jangan lakukan itu pada saya … saya mohon …” kataku dengan air mata yang sudah mengaliri pipi.
“Nyalakan lampunya Don, biar kita bisa melihat dan juga merekam.”
“Tidak, Tidak …!” aku semakin meronta. Tak lama, seketika ruangan menjadi terang, walaupun tidak seterang lampu kebanyakan.
Aku semakin panik dan menatap keempat pria bejat itu sedang tersenyum begitu mesum dan tampak dipenuhi hawa nafsu. Salah seorang yang disuruh untuk menyalakan lampu, berdiri di pojok ruangan sambil memegang handphone yang diarahkan ke aku.
Tampak samar-samar, pria yang terlihat agak lebih muda itu tak lagi memakai celana. Ternyata kuperhatikan, ketiga pria yang tengah menggerayangi tubuhku, malah sudah tak memakai apapun. Air mataku jatuh semakin deras.
Diriku akan diperkosa paksa oleh mereka dan semua tindakan bejat itu akan direkam agar aku bungkam.
Part 3. Digilir sebelum Pulang
VICTIE : ROCK D XEBEC ( SEASON 1-3)
Udara di dalam rumah tua ini terasa pengap, bercampur bau kayu lembab dan asap rokok yang menusuk hidung. Tidak seperti tadi, tubuhku kini berada di atas kasur tipis. Apa semua ini sudah direncanakan? Penerangan lampu di rumah tua dan kasur tipis terasa tak mungkin, jika bukan mereka sendiri yang mempersiapkan itu semua.
Tanganku gemetar meremas gamis yang masih menutup tubuhku. Namun cadar yang menutup wajahku sudah raib dilepas paksa oleh salah satu dari mereka. Sedangkan hijab panjang yang aku kenakan, mereka paksa agar aku sampirkan ke leher. Semua itu agar mereka dengan bebas melihat betapa besar payudara yang aku miliki.
Tubuhku masih memakai gamis, namun rasanya seperti diri ini ditelanjangi oleh tatapan-tatapan penuh maksiat dari keempat pria paruh baya mengelilingiku sambil tertawa puas. Salah satu yang disebut ‘Don’, bahkan masih terus menyorot handphone di tangannya ke arahku yang tiduran telentang seperti ini.
Aku tak bisa melawan selain diam dan direkam. Wajahku juga tak lagi tertutup cadar.
Ya Tuhan … bagaimana aku bisa terjebak sejauh ini?
“Bu Azizah,” suara berat Pak Karjo terdengar. Ia duduk di salah satu kursi tak jauh dari pinggir kasur. Wajahnya samar disinari lampu redup.
“Kami cuman mau pastikan satu hal. Ibu nggak akan buka mulut. Nggak ke suami, nggak ke kantor, apalagi polisi. Kalau Ibu melawan, kami punya bukti.”
Ia mengangkat handphone dari genggaman tangan pria bernama Don, lalu menunjukkan rekaman singkat. Video itu menampilkan diriku yang digerayangi oleh tangan-tangan nakal. Pintar sekali cara mereka menjebakku. Pria bernama Don yang dipercaya untuk mendokumentasikan perbuatan laknat malam ini hanya terfokus menyorot ke diriku. Sedangkan wajah-wajah pria paruh baya lainnya hanya sebatas tangan.
“Apa salah saya?” tanyaku pelan, suara hampir patah.
Salah seorang Pria menyahut. “Salah Ibu? Hahaha.” tanyanya dengan nada yang begitu mengejek.
“Kadang orang nggak perlu salah buat jadi bahan pemuas kami. Cukup ada potongan video, orang bisa percaya kalau Ibu nggak lebih dari perempuan berpakain sok suci seperti itu. Padahal toket besarnya udah kami remas-remas!”
Dadaku sesak. Seketika aku membayangkan bagaimana ekspresi wajah Mas Haris jika video itu benar-benar tersebar. Bukan hanya marah, ia pasti akan hancur rasa percayanya. Selama ini ia menjagaku, melindungiku, lalu tiba-tiba istrinya tampak berada di rumah tua bersama pria-pria asing.
Mas Haris akan berpikir bahwa aku istri kurangajar, tak bisa menjaga kehormatan sang suami dan tak tahu malu sebagai perempuan berpenampilan syar’i. Padahal kalau saja Mas Haris tau, aku begitu ketakutan saat ini. Disaat ia berada jauh dariku.
Ya Allah, aku tak sanggup bayangkan itu.
“Jadi sekarang begini, Bu.” lanjut Pak Karjo. Aku menduga bahwa Pak Karjo inilah ketuanya.
“Kami mau lihat sejauh mana Ibu bisa patuh. Anggap aja ini ujian kecil. Kalau Ibu nurut, kami senang. Besok Ibu bisa pulang ke rumah. Tapi kalau Ibu keras kepala …” ia berhenti sejenak, lalu menepuk ponsel ditangannya.
“Ya tau sendiri lah akibatnya.”
Hatiku berdebar keras. Di posisiku yang masih terbaring di atas kasur, aku melihat ketiga lelaki yang tengah berdiri di depanku itu sudah memegang alat kemaluannya yang tampak membesar dan menegang. Dua diantaranya bisa kuperkirakan sepantaran dengan Pak Karjo─berumur kisaran 50-an tahun. Sedangkan yang disebut ‘Don’ bisa aku perkirakan umurnya 30-an akhir ataupun 40-an awal. Aku geleng-geleng menahan takut menatap pemandangan menjijikkan di depan mataku.
Menutup mata, akupun berusaha tenang.
“Apa yang harus saya lakukan?” tanyaku ciut, dengan suara nyaris berbisik dan bergetar.
Mereka saling pandang, lalu tertawa kecil. Salah satunya berkata, “Tenang aja, nggak aneh-aneh. Ibu cuman perlu turuti arahan kami. Biar kami tahu kalau Ibu benar-benar bisa jaga rahasia.”
Arahan itu terdengar sepele di telinga orang lain yang tak menghadapi situasi mencekam seperti ini, tapi bagiku itu adalah bentuk penghinaan. Mereka menyuruh dan memaksa aku untuk melepas gamis yang aku kenakan dan hanya menyisakan hijab panjang. Setelahnya, menyuruhku posisi menungging dan menjilati satu per satu alat kemaluan mereka. Termasuk Pak Karjo yang ikutan berdiri di pinggir kasur, tengah memegang alat kemaluannya.
Hatiku menangis dan harga diriku begitu hancur. Aku sama sekali tak bisa melawan, karena lagi-lagi aku melihat bahwa pria bernama ‘Don’ itu kembali mengarahkan handphone yang ia pegang menyorot padaku yang saat ini sedang menjilati alat kemaluannya.
Demi apapun, hatiku sakit harus menuruti semua tindakan bejat yang mereka timpakan kepadaku.
“Aaarghhh …!” suara erangan itu terdengar. Suara yang muncul akibat diri ini terpaksa menuruti kemauan maksiat mereka.
Dengan gerakan paksa, seketika tubuhku didorong ke belakang agar kembali tiduran. Ternyata itu Pak Karjo. Refleks tubuhku langsung bertindak defensif. Aku mencoba mundur, berharap bisa menjauh dari jangkauan tangan Pak karjo yang saat ini sedang berada di depanku. Seolah ingin menyergap dan menyerangku. Tatapan mata serta ekspresi wajahnya begitu dipenuhi nafsu. Baru kusadari bahwa tubuhku bahkan sudah telanjang. Hanya menyisakan hijab panjang yang tak berarti apa-apa.
“Sudah lama kami mengincar dan penasaran dengan tubuh molek Ibu Azizah yang selalu tertutup gamis besar dan juga cadar.” ucapnya dengan suara yang membuatku semakin menggigil ketakutan.
Berulang kali kepalaku menggeleng, berharap ada keajaiban yang bisa menyelamatkan kehormatan diriku dan juga keluargaku. Tapi sampai air mata di kedua mataku mengalir membasahi pipi, ternyata aku hanyalah perempuan taat agama yang mengalami nasib sial.
“Aaakhhh … Saya mohon Pak, jangan lakukan ini pada saya …!” aku berteriak dan langsung meronta ketika salah satu kakiku ditarik paksa oleh Pak Karjo. Tubuhku sampai membentur kasur tipis. Posisiku kembali tiduran. Terlalu takut, kedua tanganku sampai menutup kehormatanku dengan sebegitunya.
Tapi adalah daya, aku hanyalah seorang perempuan yang tenaganya tak sebanding dengan mereka berempat.
Kedua tanganku masing-masing dipegang begitu kuat oleh dua pria paruh baya. Kedua payudaraku yang besar juga menjadi korban remasan tangan tua dan kasar mereka. ‘Don’ masih terus merekamku, dengan tangan satunya terlihat meremas dan mengocok alat kemaluannya yang sudah membesar dan menegang. Sedangkan Pak Karjo, perawakannya memang sudah berumur, tapi aku tau bahwa hasratnya masih membara dalam dirinya.
Aku tak berhenti meneteskan air mata.
Ya Tuhan … sekalipun kehormatanku direnggut, mohon ampunilah dosaku ini …
Kedua kakiku dipegang paksa oleh Pak Karjo. Tamat sudat harga diri dan kehormatanku.
“Pak …! Saya mohon, jangan lakukan ini kepada saya …! Tolonggggg …!”
Jeritan penuh kepedihan yang aku teriakkan, tak mengubah apapun. Secara perlahan, Pak Karjo mengarahkan alat kemaluannya yang terasa mengeras di belahan kewanitaanku, lalu mulai menekan masuk.
“Memek Ibu Azizah ini nggak bisa bohong. Sudah basah begini lho. Sayang kan kalau nggak kita entot?”
Aku menggelengkan kuat-kuat kepalaku mendengar kalimat menjijikkan itu. Namun, goyangan Pak Karjo semakin mendesak kewanitaanku. Membuatku dilema. Hatiku rasanya begitu hancur diperkosa seperti ini. Tidak mungkin aku mendesah─yang akan semakin membuat Pak Karjo semakin senang mendengarnya. Namun, desakan refleks alami itu juga tak bisa aku bendung.
Tak bisa aku pungkiri bahwa sodokan dan genjotan dari kelamin yang terasa keras dan tegang milik Pak Karjo di mewanitaanku, membuatku merasa nikmat juga. Pada akhirnya aku hanyalah perempuan normal yang tetap bisa merasakan nikmat sekalipun hatiku merasa jijik dan menolak.
“Eeumppp …” aku mendesah. Tak hanya sekali, berulang kali.
Setelahnya, Pak Karjo semakin beringas. Disusul oleh ketiganya. Tubuhku bagaikan objek pemuas mereka. Tubuhku diperkosa bagaikan pelacur yang tak lagi punya harga diri.
Setelah semua yang sudah terjadi, suasana sedikit mereda. Tapi aku tetap waspada. Aku dibiarkan terbaring telanjang di atas kasur. Sedangkan mereka tengah duduk di salah satu pojok di sebuah sofa yang terlihat usang. Tengah merokok, minum-minum dan mengobrol sesuatu yang aku tak tau. Meskipun mereka tampak santai, aku tahu pengawasan tidak pernah hilang dan aku tak boleh lengah.
Walaupun jujur saja, rasanya tubuh ini sudah lelah sekali diperlakukan tidak manusiawi oleh mereka. Sekalipun gamis kebanggaanku berada di dekatku, yang menjadi tanda bahwa aku adalah perempuan taat aturan agama, sama sekali aku tak punya tenaga memegangnya untuk menutup sebagian tubuh telanjangku.
Sesekali Pak Karjo menoleh padaku, seakan mengingatkan bahwa aku tak bisa berbuat apa-apa
Aku tak tau jam berapa kini, mungkin sudah menjelang dini hari. Aku mulai lelah, kelopak mataku berat, tapi ketakutan menahan tubuhku tetap siaga. Pikiranku dipenuhi bayangan buruk. Bagaimana jika mereka tak pernah membiarkanku pulang? Bagaimana kalau mereka benar-benar berniat menjebakku seumur hidup?
Tiba-tiba, suara adzan Subuh dari masjid yang entah di mana terdengar sayup. Aku tersentak. Itu berarti malam panjang ini hampir selesai.
Pak Karjo berdiri, menepuk tangannya keras-keras untuk membangunkan teman-temannya yang tertidur setengah mabuk.
“Sudah cukup. Ibu Azizah yang semok ini harus pulang. Kalau dia nggak pulang, orang rumah bisa curiga.”
Aku menahan napas. Kata-kata itu seperti pintu yang terbuka, meski masih ada rantai yang mengikat. Dengan segera aku mengambil dan memakai kembali gamisku. Sebelum aku benar-benar bisa lega, ia mendekat dan berbisik.
“Ingat janji. Kalau satu kata saja keluar, video itu yang bicara. Dan orang-orang lebih suka percaya pada apa yang mereka lihat ketimbang kebenaran yang Ibu Azizah simpan.”
Aku menunduk, menahan air mata. “Saya paham …” jawabku lirih.
Motor tua itu kembali membawaku pulang. Jalanan pagi masih sepi, udara dingin menusuk wajahku, tapi aku tak merasakan apa-apa kecuali kehampaan. Aku hanya memandang lurus ke depan, sementara pikiranku berputar-putar dalam lingkaran yang melelahkan.
Bagaimana aku bisa menceritakan ini ke siapa pun? Siapa yang akan percaya bahwa aku hanya korban? Orang akan lebih cepat menuding daripada memahami.
Rumahku akhirnya terlihat dari kejauhan. Jantungku berdegup kencang, bukan karena lega, tapi karena ketakutan akan hari-hari berikutnya.
Pak Karjo berhenti tepat di depan pagar. Aku turun dengan langkah gemetar.
“Untuk yang terakhir kalinya, satu setengah jam lagi aku datang kesini dan Ibu Azizah nggak bisa menolak.” katanya lagi sambil membelai daguku sebelum melaju pergi.
Aku berdiri lama di depan rumah, memandang pintu yang harusnya menjadi tempat paling aman di dunia. Namun pagi itu, pintu itu tampak seperti gerbang penjara, karena aku masuk dengan membawa rahasia gelap yang tak boleh diketahui siapa pun.
Aku masuk, lalu menutup pintu dengan cepat. Baru ketika aku bersandar pada dinding ruang tamu, air mata itu akhirnya jatuh berderai.
Part 4. Diperkaos sebelum Berangkat Kantor
Sinar mentari menembus jendela kaca rumah ketika aku berusaha menenangkan diri dengan secangkir teh hangat. Teringat kejadian tadi malam, seketika membuat diri ini begitu kotor dan sedikit banyak sudah merenggut kewarasanku. Tubuhku letih, mataku sembab, tetapi hari tetap berjalan. Hari ini ada jadwal konseling di kantor, dan aku harus terlihat normal.
Namun bahkan ketika aku duduk di ruang tamu rumahku sendiri, ponselku bergetar. Nomor asing masuk, tetapi aku sudah tahu siapa yang menelepon. Dengan jantung berdegup kencang, aku mengangkatnya.
“Bu Azizah,” suara berat itu langsung memenuhi telingaku.
“Pagi ini saya jemput lebih awal. Jangan coba-coba pesan ojek online, ya! Saya yang antar.” sambungnya lagi memperjelas.
Aku terdiam, menahan napas.
“Tapi, Pak… saya bisa berangkat sendir.” jawabku ragu.
“Tidak, Bu. Ingat janji. Kalau Ibu coba macam-macam, video itu yang bicara. Paham?!”
Aku menutup mata erat-erat, menahan perih di dada. Ya Allah, sampai kapan aku harus hidup dalam bayang-bayang ancaman ini?
Dengan pasrah, aku menjawab, “Baik, Pak.”
Beberapa menit kemudian, suara motor tua berhenti di depan pagar. Aku melangkah keluar, cadar dan gamis sudah melekat seperti perisai yang rapuh. Tetangga mungkin melihat, mungkin juga tidak. Aku tak peduli.
“Pagi, Bu. Yuk, naik.” Tatapan matanya membuatku merinding, seolah aku bukan penumpang, tapi barang titipan yang harus diawasinya.
Motor melaju melewati jalan-jalan padat. Aku sempat berpikir ia akan membawaku langsung ke kantor. Tapi ternyata, arah yang kami ambil berbeda. Motor berbelok ke jalan sempit menuju deretan kontrakan tua.
“Pak, ini bukan jalan ke kantor.” ucapku cepat.
Pak Karjo hanya tersenyum tipis. Bisa aku lihat pantulannya dari kaca spion.
“Tenang aja. Kita mampir sebentar ke kontrakan saya. Ada yang perlu Ibu Azizah lakukan.”
Jantungku melompat. “Pak, saya … Saya harus sampai kantor lebih cepat. Ada jadwal—”
Ia memotong dengan nada dingin. “Cukup. Kalau Ibu Azizah nggak mau menuruti perintah saya, video tadi malam yang akan bertindak.”
Aku terdiam, menggigit bibir di balik cadar. Tak ada pilihan lain.
Motor berhenti di depan sebuah rumah kontrakan bercat pudar. Jendelanya ditutup tirai kusam, pintunya setengah lapuk dimakan usia. Aku menoleh kanan-kiri, berharap ada tetangga yang memperhatikan. Tapi nyatanya, tidak ada. Orang-orang di sekitar sini sibuk dengan urusan masing-masing. Mungkin mereka sudah terbiasa melihat Pak Karjo pulang pergi dengan siapa pun.
Aku tak mengenal daerah sini, terasa asing. Sedikit beruntung karena aku memakai cadar. Membuat wajah asliku tidak diketahui oleh beberapa pasang mata yang sepertinya curi-curi pandang akan kedatanganku yang terlihat kontras dibonceng dan dibawa ke kontrakan usang seorang pria seperti Pak Karjo.
“Masuk.” katanya sambil membuka pintu.
Aku melangkah masuk dengan hati-hati. Bau apek langsung menyambut, bercampur dengan aroma rokok yang menempel di dinding. Ketika masuk, aku disuguhi dengan keadaan yang berantakan. Pakaian berserakan di kursi, piring kotor menumpuk di meja, dan lantai dipenuhi debu.
Aku berdiri kaku di tengah ruangan. “Pak… untuk apa saya di sini?”
Pak Karjo menatapku lama. Jenis tatapan yang seperti ingin menelanjangiku. Lalu berkata dengan nada santai. “Aku masih belum puas mengentot tubuh Ibu Azizah yang semok itu.”
Aku tercekat. “Tapi … saya nggak bisa—”
“Azizah …!” suaranya berubah tajam, membuatku kaku.
“Kamu tau konsekuensinya kalau nolak permintaan saya.”
Aku menunduk, tangan mengepal di balik gamis. Rasa marah menekan dadaku, tapi rasa takut lebih besar. Aku diam seperti tak bisa bergerak. Perlahan Pak Karjo menghampiriku. Tangan tua dan kasarnya itu mulai menyentuh dan menggerayangi tubuhku dari balik gamis.
“Cepat buka cadarnya!” bentaknya disela kedua tangannya meremas kedua payudaraku begitu kasar.
Dengan berat hati aku melepas cadar yang menutup wajah. Tanpa bisa aku duga, Pak Karjo mencium bibirku dengan begitu rakus. Lidahnya terjulur keluar menjilat bibirku yang berusaha untuk terus menutup. Perasaan muak dan jijik seketika merasuk mendapati perlakuan bejat Pak Karjo.
“Eumphh …!” berulang kali aku mendorong tubuhnya, tapi tak berarti apa-apa. Tenaga Pak Karjo jauh lebih kuat sekalipun ia sudah berumur.
Puas mencium bibirku yang tak mau membalas ciumannya, tubuhku dipapah secara kasar untuk menuju ke ruangan yang aku tebak adalah kamar tidur. Beruntungnya, keadaan kamar pria tua ini tak seberantakan ruangan depan. Tubuhku disentak, membuatku jatuh di atas kasur yang tak lagi empuk.
“Sepongin kontolku sampai keluar!”
Pak Karjo membentakku lagi. Tangannya memegang alat kelaminnya yang masih layu itu dan aku disuruh untuk menjilatinya sampai keluar. Cobaan apa lagi ini ya Tuhan …
Dengan terpaksa dan perasaan jijik, akupun memegang dan mulai menjilati alat kelamin Pak Karjo. Sampai akhirnya terasa tegang dan mengeras di genggaman tangan. Aku sedikit takjub. Di usianya yang sudah tak lagi muda, Pak Karjo masih memiliki hasrat dan stamina yang masih membara dari alat kelaminnya. Bisa dibilang, ukurannya cukup besar dan membuatku merasa nikmat.
Seketika aku mengucap istighfar.
“Tiduran dan ngangkang! Mau kuentot memekmu itu.”
Entah kenapa aku menurut saja. Kulepas celana dalam yang kukenakan, menyingkap gamis panjang dan langsung tiduran mengangkang. Di hadapanku, Pak Karjo menatapku dengan seringai yang tampak mengerikan.
Aku sudah tak bisa lagi membedakan menuruti perintahnya karena takut ancaman video skandalku disebar, atau malah merasa nikmat ketika kewanitaanku digenjot oleh alat kelaminnya Pak Karjo yang ukurannya terbilang besar itu.
Pikirannku berkecamuk, disaat itu juga dapat kurasakan benda tumpul dan sedikit basah itu menekan berulang kali sampai akhirnya terasa masuk di dalam. Pak Karjo langsung saja menggoyang pinggulnya ketika penyatuan terjadi.
Berulang kali suara desahan keluar dari bibirku dan aku begitu sadar akan hal itu. Membuat Pak Karjo semakin gelap mata menyetubuhiku tanpa perasaan bersalah. Goyangan itu semakin cepat, sampai akhirnya langsung dicabut oleh Pak Karjo.
“Aaarghhhh …!” cairan yang begitu cair itu langsung menyemprot keluar, mengenai perutku.
Rasanya ingin menangis, tapi air mata seperti tak bisa keluar. Kecuali hati yang begitu sakit menerima perlakuan bejat Pak Karjo.
Tanpa sedikitpun peduli, ia langsung mengenakan kembali celananya. Dengan berat hati, aku kembali memakai celan dalam. Sisa cairan di perutku hanya aku lap dengan begitu asal pakai apa saja yang tergapai oleh tanganku di atas kasur.
“Ibu Azizah aku antar ke kantor. Tapi jangan coba-coba mengadu ke siapapun!”
Di luar, aku menundukkan wajah serendah mungkin, berharap tidak ada tetangga yang memperhatikan. Tapi bahkan jika ada, aku yakin mereka tidak peduli. Seorang duda yang membawa perempuan bercadar ke kontrakannya mungkin hanya dianggap “urusan pribadi.” Dunia ini memang lebih suka menutup mata.
Motor kembali melaju, kali ini menuju kantor. Aku duduk dengan tubuh kaku, hati campur aduk antara lega dan takut.
“Mulai sekarang, kita buat aturan. Setiap kali aku dan bapak-bapak lainnya di ojek pangkalan mau mengentot memek Ibu Azizah, harus siap sedia. Anggap aja ini kerjaan sampingan yang nikmat. Kalau Ibu nurut, hidup Ibu dan keluarga aman. Kalau nggak …” Ia berhenti sejenak, lalu tertawa kecil.
“Saya yakin Ibu tahu akibatnya.”
Aku memejamkan mata. Ya Tuhan, apa aku harus terus menuruti permainan ini? Sampai kapan?
Motor akhirnya berhenti di depan kantorku. Orang-orang berlalu-lalang, sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak ada yang tahu aku baru saja keluar dari neraka kecil.
Aku turun, membayar seadanya, lalu berkata pelan penuh penekanan. Hatiku rasanya ingin berteriak, tapi setengah mati aku tahan-tahan. “Tolong jangan ikuti saya ke dalam.”
Pak Karjo hanya tersenyum kecil. Jenis senyum yang sangat aku benci. “Tenang, Bu. Saya tunggu kesempatan berikutnya yang lebih nikmat.”
Aku melangkah cepat masuk gedung kantor, menahan gemetar di seluruh tubuh.
Hari itu aku kembali duduk di ruang konseling, mendengarkan klien bercerita tentang rasa cemasnya. Aku mencoba tersenyum, mencoba memberi solusi, padahal di dalam hatiku sendiri sedang berteriak meminta tolong.







